Eps.1 "SAHABATKU ADALAH IMAM-KU"

Di pekarangan rumah Siko terdapat ladang kecil yang ditanami berbagai macam sayuran, ladang itulah yang kemudian menjadi sumber pencaharian ibu Siko. Dari hasil ladang itu, ibu menjual nya ke pasar untuk kemudian hasil dari jualannya ia belanjakan untuk kebutuhan rumah dan juga kebutuhan Siko. Selain itu, Ibu Siko juga bekerja sebagai buruh harian untuk tambahan penghasilan di sebuah ladang milik seorang juragan kaya yang ada di desanya.
Siko termasuk anak yang jarang bersosialisasi, hal itulah yang menjadikan ia tidak begitu banyak memilik teman di lingkungan rumahnya. Ia lebih banyak mengahabiskan waktunya untuk membantu ibunnya baik diladang maupun pekerjaan rumah lainnya dan sesekali ia membantu menjual hasil ladang ke pasar. Namun, walaupun demikian ia bukan berarti tidak memiliki seorang sahabat layaknya anak-anak pada umumnya. Tidak jauh dari rumah Siko, terdapat sebuah rumah yang terbilang cukup mewah. Rumah itu adalah rumah milik juragan kaya ayah dari Sifta.
Sifta merupakan sahabat dekat Siko, persahabatan mereka sudah terjalin sejak lama. Sifta si anak konglomerat sedangkan Siko merupakan anak dari seorang janda yang bekerja sebagai buruh tani harian di ladang milik ayah Sifta. Namun walaupun demikian, mereka tidak pernah mempermasalahkan hal derajat keluarga baik oleh mereka berdua maupun oleh Ayah dari Sifta tak terkecuali ibu Sifta.
Ibu Sifta memiliki sifat yang tidak disenangi oleh para buruh yang bekerja di ladang mereka. Sifat kikir dan keangkuhanannya yang membuat para buruh enggan untuk berkomunikasi dengannya. Berbanding terbalik dengan ayah Sifta, ia memilik sifat yang amat dermawan juga santun terhadap karyawannya. Sehingga setiap kali keluhan dari karyawan selalu berpihak kepada ayah Sifta.
Setelah memasuki usia dewasa, kini Siko dan Sifta telah masuk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Sejak SD mereka selalu menempuh pendidikan di sekolah yang sama, tak heran jika kedekatan mereka semakin hari semakin erat. Sifta selalu mengerjakan tugas sekolah bersama Siko dengan tidak diketahui oleh ibunya, karena ibunya selalu melarang Sifta untuk bergaul dengan Siko.
Suatu ketika tibalah mereka berdua lulus dari bangku SMA, keduanya sama-sama lulus dengan predikat nilai yang amat baik. Di sekolah mereka menyediakan beasiswa strata satu bagi mereka yang lulus dengan nilai paling tinggi. Dan Siko adalah orang yang berhak mendapatkan beasiswa tersebut, karena Siko merupakan siswa yang cukup baik dari segi afektif, kognitif maupun psikomotorik sejak ia SD hingga pada tingkat SMA.
Dari toak sekolah terdengar suara panggilan yang ditujukan untuk Siko agar ia menghadap ke ruang kepala sekolah. "Siko, selamat atas kelulusannya dan selamat anda berhak mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi ke jenjang berikutnya" Ujar kepala sekolah sembari menjabat tangan Siko.
Mendengar ucapan Kesek, Siko sedikit terharu dengan mata yang berkaca-kaca. "alhamdulillah, te...terimakasih ibu kepala sekolah" sahut Siko dengan nada suara yang sedikit terbata-bata.
Siko kemudian pulang kerumah untuk segera menumui ibunya dan menyampaikan kabar gembira hari ini. " ibu....ibu...." teriak Siko dari depan rumah sambil sedikit berlari kegirangan, "ibu, saya lulus, dan saya mendapat beasiswa untuk lanjut keperguruan tinggi" dengan muka cempringan ia menyampaikan kabar gembira ke ibunya. "alhamdulillah jagoanku selamat, saya ikut senang mendengar kabar itu" sahut ibunya sambil memeluk Siko dan sembari mengecup keningnya.
Perlakuan kekanak-kanakan dari ibunya terhadap Siko adalah perlakuan yang biasa ibu Siko lakukan, sekalipun saat ini Siko bukanlah anak kecil lagi tapi ibunya tetap memperlakukan Siko layaknya seorang anak kecil. Anak semata wayang mungkin menjadi alasan kenapa ibu Siko berbuat seperti itu.
Setalah mendengar kabar gembira dari putranya, kini ibu Siko sedikit terdiam dan tiba-tiba air matanya jatuh tepat mengenai pipi Siko hingga membuat Siko membuka pelukan dari Ibunya. "Ibuu kenapa kok tiba-tiba sedih??" tanya Siko kepada ibunya. Seketika Ibu Siko langsung mengusap air matanya dan berusaha untuk terlihat baik-baik saja " ohh, tidak jagoanku... Ibu gak apa2 kok..sana ganti baju lalu makan, ibu udah masakkan sayur ubi dan ikan goreng kesukaan Siko ". Tak ingin berpikiran panjang, Siko langsung bergegas untuk segera makan siang.
Yang membuat ibu Siko sedih bukan karena ia tidak memiliki tabungan untuk keperluan kuliah Siko, karena sejak lama ia sudah menabung untuk persiapan kuliah anak semata wayangnya. Namum yang membuat ia sedih lantaran ia akan segara tiba waktu berpisah dengan putra kesayangannya. Karena selama ini ia sudah terbiasa hidup bersama Siko. Namun ia harus tetap tegar dan terbiasa akan hal itu, karena ibu Siko menginginkan anaknya menjadi orang sukses dimasa mendatang.
Beberap hari sebelum keberangkatan Siko ke kota tempat ia nanti akan melanjutkan studi strata satu, ia sempat bertemu dengan Sifta. Mereka bertemu di pinggir sungai yang lokasinya tidak jauh dari ladang milik ayah Sifta,
" Sif, rencana kamu lanjut dimana?? " tanya Siko,
" saya akan lanjut di luar negeri, di Amerika Serikat, Km bagaimana, kamu jadikan? ambil beasiswa itu??" tanya balik Sifta...
" iyalah, kan sayang kalau gak di ambil " sembari tersenyum mengarah ke Sifta.
Percakapan singkat mereka cukup membekas dihati keduanya, bagaimana tidak. Mereka akan saling merasa kehilangan dan kesepian, namun mereka berdua tampaknya berusaha menyembunyikan perasaan itu.
" Kamu semangat yah Ko, aku yakin ketika kita bertemu nanti, kamu akan lebih baik dari hari ini, dan saya harap semoga kamu akan selalu mau menjadi teman saya " ujar Sifta membuka keheningan yang sempat terjadi...
" Iya Sif, kamu juga semangat yah, sampai kapanpun, kita akan selalu menjadi teman " jawab Siko sembari mengusap kepala sahabatnya itu...
Hari sudah mulai larut, mereka pun kemudian bergegas pulang. Di perjalanan Sifta tidak mampu lagi membendung air mata nya yang ditahan sejak ia sama-sama Siko, sesampainya di depan rumahnya ia langsung berlari menuju ruang tidur dan membentangkan badanya ke tempat tidurnya. Ia menangis karena mengingat akan segera berpisah dengan sahabat karibnya. Pertemuan tadi akan menjadi pertemuan terakhir mereka berdua, ia kini tidak akan bisa bersama-sama lagi dengan Siko dalam jangka waktu yang cukup panjang. Sifta sejak lama sudah menaruh hati pada Siko, namun ia tidak pernah berani untuk mengungkapkan karena takut persahabatannya renggang karena cinta.
Momen pertemuan terakhir harusnya menjadi momen yang tepat untuk Sifta ungkapkan perasaan, namun ia tidak punya keberanian.
Mungkinkah Siko juga memiliki perasaan yang sama terhada Sifta??? Jawaban nya nanti di Part 2 yah.....
#BERSAMBUNG
Keren Ceritanya Immawan Gagah��
BalasHapusTerimakasih, mohon kritik dan saran nya yah...
BalasHapus